Sungai Penuh DK – Penangkapan terhadap oknum wartawan berinisial FNE yang diduga melakukan pemerasan terhadap Kepala Desa Pelayang Raya, Kota Sungai Penuh, memantik perhatian luas dari publik. Sejumlah media, termasuk Talago Batuah, sempat menyebut bahwa penangkapan tersebut merupakan bagian dari Operasi Tangkap Tangan (OTT). Namun, informasi ini justru menimbulkan polemik dan kecaman dari sejumlah kalangan, terutama para aktivis.
Dalam konferensi pers resmi yang digelar oleh Polres Kerinci, Kapolres dengan tegas membantah narasi OTT yang beredar.
“Penangkapan ini bukan OTT. Prosesnya murni hasil penyelidikan atas laporan dugaan pemerasan yang dilayangkan oleh korban. Kami mengantongi bukti-bukti yang cukup sebelum melakukan tindakan hukum,” tegas Kapolres Kerinci
Pernyataan resmi dari kepolisian ini sekaligus membantah pemberitaan sepihak yang disampaikan oleh media Talago Batuah. Sejumlah aktivis menyayangkan pemberitaan yang dianggap menyesatkan dan tidak sesuai fakta hukum di lapangan. Mereka menilai, jika memang penangkapan dilakukan dalam konteks OTT, maka sesuai hukum yang berlaku, seharusnya kedua pihak—baik penerima maupun pemberi—ikut diamankan di tempat kejadian.
“Media itu seharusnya berpegang pada kode etik jurnalistik, bukan justru memperkeruh suasana dengan narasi yang keliru dan berpotensi membentuk opini menyesatkan,” ujar salah satu aktivis
Sebagai rujukan, definisi OTT atau Operasi Tangkap Tangan secara hukum tercantum dalam Pasal 1 angka 19 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
“Operasi Tangkap Tangan adalah penangkapan terhadap seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana korupsi, atau sesaat setelah melakukan tindak pidana korupsi.”
Dalam praktiknya, OTT umumnya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau aparat penegak hukum terhadap kedua pihak yang terlibat—pemberi dan penerima suap—secara langsung di tempat kejadian perkara.
Sementara dalam kasus FNE, pihak kepolisian menegaskan bahwa unsur OTT tidak terpenuhi. FNE justru dijerat dengan pasal pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan supaya memberikan sesuatu barang atau keuntungan, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Proses penyidikan terhadap tersangka FNE kini terus berjalan di Polres Kerinci. Klarifikasi dari pihak kepolisian ini diharapkan dapat menghentikan spekulasi liar yang berkembang serta meluruskan informasi di tengah masyarakat.
Zakaria